Pengubahan nomenklatur Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjadi sorotan. Pendekatan penanganan konflik di Papua kini kembali dipertanyakan seiring diubahnya nomenklatur tersebut.
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Rosita Dewi, mengatakan istilah nama untuk nerujuk gerakan yang terjadi di Papua memang kerap berubah.
Menurutnya pengubahan nomenklatur tersebut menyesuaikan dengan kepentingan. Tetapi yang menjadi sorotan ialah pendekatan yang kemudian akan dilakukan seiring bergantinya nomenklatur.
"Pasti akan ada perubahan pendekatan gitu ya hanya saja kan ini memang ketidakjelasan istilah yang digunakan," kata Rosita dalam diskusi daring Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) bertajuk Status Berganti, Operasi Penggerebekan TNI Kian Menjadi, Rabu (15/5/2024).
Menurut Rosita pengubahan nomenklatur KKB menjadi OPM yang berlandaskan dari surat telegram Panglima TNI itu hanya bersifat internal di lingkup TNI.
"Ini kan tapi kan ketika Pak Agus itu memang mengatur secara internal TNI pada waktu itu. Tujuannya memang lebih untuk mengonsolidasi di dalam TNI nya sendiri," kata Rosita.
Sementara Annisa Azzahra dari PBHI menegaskan bahwa surat telegram tersebut tidak serta merta kemudian bersifat menyeluruh sehingga mengubah pendekatan, di mana TNI menjadi leading sector.
Sebelumnya saat penyebutan masih KKB, diketahui pihak militer atau TNI hanya menjadi mendukung kepolisian yang menjadi garda terdepan.
"Tapi di kuartal pertama di tahun 2024 ini terlihat bahwa bukan, sifatnya bukan lagi supporting tapi pelaku aktor utama yang bergerak di Papua yang bergerak untuk mengamankan tanah Papua," kata Annisa.
Tetapi seiring pengubahan nomenklatur KKB menjadi OPM, pendekatan secara militer apakah kembali dilakukan atau tidak, hal itu menjadi pertanyan.
Tapi dengan perhantian status dari KKB ke OPM ini tentu akan sangat berpengaruh karena itu.
"Artinya ada pergantian domain dari yang awalnya itu KKB di mana fokusnya adalah isu yang digunakan dan dimainkan adalah terorisme sehingga yang memegang untuk, domainnya itu masih di kepolisian Republik Indonesia karena sifatnya keamanan dalam negeri," kata Annisa.
"Sedangkan ketika kita sudah bicara ini diubah menjadi OPM atau operasi militer otomatis pendekatan yang akan dilakukan itu akan berganti lagi bahkan sudah berganti sebelum keluar surat telegram itu," sambung Annisa.
Meski begitu menurutnya, tidak ada landasan legal bila hal tersebut dilakukan. Adapun surat telegram Panglima TNI tidak bisa dijadikan dasar.
"Tapi landasan legalnya pun belum ada karena surat telegram itu tidak bisa dijadikan landasan legal pendekatan sekuritisasi di tanah Papua untuk melibatkan TNI ataupun aparat militer secara utuh," kata Annisa.
Hal senada ditegaskan pembela HAM, Veronica Koman. Ia menegaskan TNI tidak memiliki fungsi dan wewenang menentukan hal tersebut.
"Yang punya wewenang adalah pemerintah gitu," kata Veronica.
Apalagi pengubahan nomenklatur tersebut hanya berdasarkan surat telegram Panglima TNI.
"Nggak bisa tuh cuma telegram doang terus berlaku. Kan ini kan semua harus ada diresmikan ada prosesnya di DPR, di presiden," ujar Verocina.
Ubah Penyebutan
Diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjelaskan penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata atau KBB di Papua, saat ini kembali disebut sebagai Organisasi Papua Mardeka (OPM).
"Mereka sendiri menamakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sama dengan OPM," kata Agus di Jakarta, Rabu (10/4/2024).
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Kementerian Polhukam 29 April 2021 disepakati, penyebutan OPM menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST).
Namun, tertanggal 5 April 2024, TNI mengembalikan status dan penyebutan KKB menjadi OPM.
"Sekarang mereka (OPM) sudah melakukan teror, pemerkosaan kepada guru, tenaga kesehatan dan pembunuhan kepada TNI, Polri dan masyarakat," ujar Agus sebagaimana dilansir Antara.
Menurut dia, tindakan itu tidak boleh didiamkan saja karena para komplotan itu membawa senjata api. Bahkan, para OPM terus mengganggu aktivitas masyarakat dan TNI/Polri.
"Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara," kata Agus menegaskan.
TNI, kata dia, mempunyai metode tersendiri untuk penyelesaian masalah di Papua. Walaupun dilakukan operasi bersenjata, tetapi TNI juga mengedepankan pendekatan teritorial untuk membantu percepatan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat.
"Tentara kita di sana ngajar, memberikan pelayanan kesehatan masyarakat, selalu diganggu. Padahal kita akan memberikan bantuan pelayanan masyarakat, masa harus didiamkan," imbuhnya.