Lembaga penyiaran nasional Malaysia, Radio Televisyen Malaysia (RTM), mendapat sorotan tajam setelah melakukan blunder serius dalam liputan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN di Kuala Lumpur. RTM secara keliru menyebut Presiden RI Prabowo Subianto sebagai Joko Widodo (Jokowi).
Pengamat Hubungan Internasional dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Faruq Arjuna Hendroy, menilai bahwa kesalahan itu sangat disayangkan karena dilakukan oleh lembaga penyiaran nasional yang berada di bawah kendali pemerintah Malaysia. Menurutnya, dalam forum yang sangat menjunjung tinggi aspek protokoler seperti hubungan antarnegara, detail kecil seperti nama kepala negara, bendera, atau nama negara adalah hal yang wajib diperhatikan secara seksama.
Master Candidate of Peace and Conflict Studies The University of Queensland itu menilai, kesalahan semacam itu bisa berdampak pada citra Malaysia sebagai tuan rumah forum internasional yang menjunjung tinggi aspek protokoler.
"Sekilas mungkin sepele, tapi itu memengaruhi citra negara tamu dalam menyambut delegasi. Di dalam aktivitas atau forum yang sangat menjunjung tinggi aspek protokoler seperti hubungan antarnegara, Malaysia bisa dianggap abai dan ceroboh, atau mungkin tidak menghargai tamu delegasi yang datang,” ujar Faruq dilansir RMOL, Sabtu, 1 November 2025.
Faruq menambahkan, RTM seharusnya bisa dengan mudah memverifikasi informasi mengenai delegasi Indonesia. “Tinggal googling saja, langsung keluar semua informasinya,” kata dia. Terlebih, insiden yang mirip-mirip dan ‘menyenggol’ Indonesia bukan kali pertama dilakukan oleh Malaysia. Negeri jiran itu pernah melakukan kesalahan serupa dalam konteks acara resmi di ASEAN.
"Dulu tahun 2017 sewaktu Malaysia menjadi tuan rumah SEA Games, pernah melakukan yang lebih parah, yaitu membuat bendera merah putih terbalik jadi bendera Polandia. Lebih ribut dari ini waktu itu, sampai kedutaan Malaysia di Jakarta didemo oleh massa. Cuma waktu itu pemerintah Indonesia memilih memaafkan,” jelasnya.
Namun begitu, Faruq memperkirakan insiden kali ini juga tidak akan menimbulkan ketegangan serius antara kedua negara. Ia pun meyakini kedua negara tetap mengedepankan harmonisasi.
“Sepertinya kasus ini pun akan berakhir dengan damai. Hubungan Indonesia dengan Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya relatif harmonis. Ada riak kecil, tapi tidak sampai memicu ketegangan yang lebih besar,” pungkasnya.