Ketua Pusat Studi Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Gender (Pusdeham Institut), Risnauli Siahaan, mengecam keras pernyataan Konten Kreator Ferry Irwandi dalam siaran konten YouTube-nya yang menyebut telah terjadi kasus pemerkosaan di lokasi bencana alam di Sumatera serta menyiratkan seolah negara tidak hadir dalam proses pemulihan.
Risnauli menilai pernyataan tersebut tidak hanya berpotensi menyesatkan publik, tetapi juga melukai perasaan para korban bencana, khususnya perempuan yang saat ini sedang berada dalam kondisi trauma, kehilangan, dan ketidakpastian.
“Kami sebagai kaum perempuan, terlebih sebagai perempuan Batak, sangat lirih dan terpukul mendengar ucapan tersebut. Di tengah situasi duka dan upaya pemulihan, justru dilempar narasi yang belum tentu benar, yang bisa menambah beban psikologis korban,” tegas Risnauli dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu, 7 Desember 2025.
Menurutnya, isu kekerasan seksual adalah persoalan serius yang tidak boleh dijadikan komoditas konten, apalagi digunakan untuk membangun opini seolah negara abai terhadap rakyatnya.
Jika memang terdapat dugaan tindak pidana, seharusnya ditempuh melalui mekanisme hukum dan pelaporan resmi, bukan diviralkan tanpa dasar yang jelas.
“Jangan karena sudah membantu lalu merasa bebas bicara dan membuat konten seenaknya. Bantuan kemanusiaan tidak boleh dijadikan tiket untuk membangun narasi provokatif. Ini menyangkut martabat korban, nama daerah, serta kepercayaan publik terhadap institusi negara,” ujarnya.
Risnauli juga menegaskan bahwa negara saat ini nyata hadir melalui berbagai unsur, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, TNI-Polri, relawan, hingga organisasi kemanusiaan yang terus bekerja dalam evakuasi, distribusi bantuan, layanan kesehatan, serta dukungan psikososial bagi korban bencana.
“Menyebut negara tidak hadir adalah simplifikasi yang menyesatkan. Upaya pemulihan bencana adalah kerja besar dan kolektif. Ada proses yang berjenjang dan melibatkan banyak pihak. Mengerdilkan semua itu hanya demi framing konten adalah bentuk ketidakadilan informasi,” ungkapnya.
Dari perspektif demokrasi dan HAM, Risnauli mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi bukan kebebasan tanpa batas. Setiap pernyataan di ruang publik harus mempertimbangkan akibat sosial, psikologis, dan hukum, terlebih dalam situasi darurat bencana.
“Demokrasi bukan berarti bebas melukai. HAM bukan alat untuk menjustifikasi framing. Dan gender justice mengajarkan bahwa perempuan harus dilindungi dari narasi yang memperparah kerentanan,” tambahnya.
Ia pun mengajak seluruh konten kreator, influencer, dan figur publik untuk lebih berempati, bertanggung jawab, dan mengedepankan verifikasi dalam menyampaikan informasi terkait bencana.
“Korban bencana butuh empati, bukan sensasi. Mereka butuh penguatan, bukan ketakutan baru. Jangan jadikan penderitaan rakyat sebagai panggung personal,” tutup Risnauli.
Ferry Irwandi menyebut bahwa dirinya banyak mendengar cerita-cerita horor di tengah bencana, salah satunya banyak perempuan yang mengalami pemerkosaan.
“Ceritain aja lah, tadi aku dikasih voice note, dikasih cerita horor ada pemerkaosan ya. Manusia dalam kondisi yang social culture, situasi kelompok masyarakat yang udah separah itu ya dan dalam situasi seburuk itu,” ucap Ferry dikutip dalam akun Tiktok dimwise.
Sumber: rmol