Mantan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemberian izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas).
Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menjadi jebakan dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang dapat melemahkan daya kritis ormas dan lembaga pendidikan tinggi.
Said Aqil mengungkapkan bahwa pada awalnya ia mendengar kabar pemberian konsesi tambang kepada ormas dan menyambutnya dengan antusias.
Namun setelah menimbang dampak yang mungkin ditimbulkan, ia mengaku melihat lebih banyak sisi negatif daripada manfaatnya.
Pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, terkait potensi masalah dalam pemberian izin tambang tersebut juga menjadi salah satu acuan bagi Said Aqil untuk menilai ulang kebijakan itu.
Menurutnya, pemberian izin tambang kepada ormas berisiko menyandera independensi organisasi dalam bersuara kritis.
Ia menilai ormas dapat terjebak dalam kepentingan ekonomi sehingga sulit mengkritik pemerintah, terutama ketika bersinggungan dengan isu ekologis maupun tata kelola sumber daya alam.
Kontroversi izin tambang ini juga dianggap beririsan dengan dinamika politik internal PBNU yang memanas pada akhir November 2025.
Konflik tersebut melibatkan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang saling bersilang pendapat soal kepemimpinan PBNU.
Tensi meningkat setelah muncul kabar Syuriyah PBNU akan memberhentikan Gus Yahya karena dugaan pelanggaran nilai dan tata kelola keuangan tudingan yang kemudian dibantah keras oleh Gus Yahya.
Di sisi lain, Gus Ipul yang sempat dicopot dari jabatan Sekjen PBNU oleh Gus Yahya menolak anggapan bahwa dirinya merupakan calon pengganti.
Konflik ini membuat isu izin tambang semakin terseret ke dalam dinamika organisasi, karena muncul dugaan bahwa kepentingan tertentu berada di balik memanasnya hubungan dua tokoh besar NU tersebut.
Said Aqil menilai bahwa dalam situasi seperti ini, ormas dan kampus harus mempertahankan jarak dari kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketergantungan politik dan ekonomi.
Ia menegaskan bahwa organisasi besar seperti PBNU memiliki peran moral untuk menjaga independensi, terutama dalam menyuarakan kepentingan rakyat kecil dan menjaga lingkungan dari eksploitasi berlebihan.
Kritik keras Said Aqil ini menambah panjang daftar polemik yang mengiringi kebijakan konsesi tambang bagi ormas.
Publik mempertanyakan apakah izin tambang benar-benar solusi atau justru celah baru untuk mempolitisasi organisasi masyarakat.
Dengan suhu politik internal PBNU yang masih panas, ditambah isu konsesi tambang yang ramai di kalangan publik, dinamika organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat.
Isu jebakan yang dilontarkan Said Aqil pun menjadi peringatan bagi banyak pihak agar tetap kritis terhadap kebijakan yang berpotensi menggerus independensi ormas dan lembaga pendidikan.***