Image description
Image captions

PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) angkat bicara soal 15 Warga Negara Asing (WNA) asal China yang diduga menyerang 5 personel TNI dan satu warga sipil.

Para WNA itu merupakan karyawan perusahaan, PT SRM pun membantah ada penyerangan dan mempertanyakan kehadiran aparat TNI di kawasan tambang.

Sebelumnya, insiden tersebut terjadi di wilayah Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) pada Minggu (14/12/2025).

Dugaan sementara, insiden bermula ketika ada 4 WNA China menerbangkan drone di kawasan tambang PT SRM.

Saat aparat dan petugas keamanan itu berupaya mengejar dan meminta klarifikasi terkait penerbangan drone tersebut, 11 WNA China lainnya kemudian datang ke lokasi dengan membawa senjata tajam dan diduga langsung melakukan penyerangan.

Klarifikasi PT SRM: Bantah Penyerangan

Direktur Utama PT Sultan Rafli Mandiri (SRM), Li Changjin, membenarkan jika ada staf teknis PT SRM berkewarganegaraan Tiongkok yang mengoperasikan drone di area tambang.

Meski begitu, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (16/12/2025), Li Changjin menegaskan pihaknya membantah tudingan bahwa staf tersebut melakukan penyerangan terhadap anggota TNI.

Ia mengklaim penerbangan drone dilakukan di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) milik PT SRM dan bukan merupakan kawasan militer atau area terlarang.

Li Changjin menyebut drone dan telepon seluler milik staf teknis tersebut sempat disita.

Sementara rekaman di dalam perangkat dihapus, sebelum akhirnya dikembalikan.

“Pada saat kejadian, staf teknis kami merasa ketakutan karena perlengkapan mereka langsung disita. Kami juga tidak mengetahui kepentingan pihak tertentu berada di lokasi tersebut,” ujar Li Changjin.

Bantah Membawa Senjata

Menanggapi tudingan bahwa staf teknis WNA membawa senjata tajam, airsoft gun, maupun alat setrum, Li membantah keras narasi tersebut.

Ia menegaskan tidak ada bukti yang mendukung tuduhan itu.

“Staf teknis kami tidak pernah melakukan tindakan ilegal, termasuk perusakan kendaraan atau membawa senjata,” ungkap Li Changjin.

Terkait kerusakan kendaraan yang dilaporkan, Li mengaku tidak mengetahui secara pasti, dan menyebut bahwa mobil double cabin dengan nomor polisi L 8939 BE yang berada di lokasi kejadian bukan milik PT SRM.

Li Changjin juga menegaskan bahwa IK (inisial), yang disebut-sebut sebagai Chief Security PT SRM, bukan merupakan bagian dari manajemen maupun karyawan perusahaan.

Li Changjin menyatakan IK diduga melakukan pendudukan dan penguasaan fasilitas tambang PT SRM secara tidak sah.

“Yang bersangkutan bukan staf PT SRM. Saat ini yang bersangkutan bersama pihak lain sedang didalami oleh Bareskrim Polri terkait dugaan pendudukan ilegal, pemalsuan dokumen, dan pendaftaran badan hukum,” ujar Li Changjin.

Pertanyakan Keberadaan Aparat

Ia menambahkan, bahwa staf teknis WNA PT SRM disebut mengalami penghalangan untuk memasuki area tambang yang berada dalam wilayah IUP PT SRM.

Li Changjin mengatakan, jika perusahaannya telah memenangkan perkara hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung terkait laporan dugaan penyerobotan lahan yang sebelumnya diajukan oleh perusahaan lain.

Saat ini, proses hukum masih berjalan di Bareskrim Polri, termasuk penyelidikan terhadap dugaan pendudukan ilegal, perusakan, dan pencurian aset PT SRM.

 

Ia pun mempertanyakan kehadiran dan keterlibatan aparat TNI di kawasan tambang yang menurutnya masih menjadi obyek sengketa hukum.

“Ada apa sehingga TNI ikut berada di area tambang yang status penguasaannya masih disengketakan dan tengah berproses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) serta dalam penyelidikan Bareskrim Polri,” tutup Li Changjin.