Image description
Image captions

Penangkapan salah satu anggota Densus 88 saat melakukan pengintaian Jampidsus Kejagung, Febrie Ardiansyah.

Selain penangkapan salah satu anggota Densus ini juga merembet keterlibatan Jenderal Purnawirawan kepolisian.

Bahkan Hanifa Sutrisna yang merupakan Ketua National Coruption Watch mengatakan jika pihaknya mendapatkan informasi jika Jenderal Purnawirawan kepolisian yang terlibat lebih dari satu.

Menangapi keterlibatan aparat dalam kasus timah ini, Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai yang merupakan Mantan Kepala BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia angkat bicara.

Dalam sebuah wawancara di televisi swasta, mantan Kapolda Sumatera Utara ( 2002) ungkap skenario keterlibatan Jenderal B di kasus timah dan mengatakan bahwa itu hanya pengalihan.

Mantan Asisten Intelijen Kapolri ( 2001) tersebut juga menyinggung bahwa kasus tambang timah tak lepas dari pergantian penguasa tambang.

Selain itu menurutnya, terseret dan tertangkapnya anggota Densus 88 saat memata-matai Jampidsus Kejagung membuat para senior Densus 88 marah dan mempertanyakan siapa yang menggunakan aset ini.

Menurut Irjen Pol (Purn) Ansyaad permasalahan tambang timah bukanlah hal yang baru, di mana setiap adanya operasi selalu berkaitan dengan pergantian tauke atau mafia penguasa tambang timah.

“Dari yang saya lihat bahwa benar adanya jika ada touke baru yang muncul sebagai penguasa dalam pengelolaan sumberdaya alam ini,” terangnya.

Irjen Pol (Purn) Ansyaad juga menyebutkan bahwa pergantian touke ini juga seiring dengan pergantian penguasa politik.

“Ini tidak hanya terjadi kali ini saja, namun juga dari dulu telah terjadi dan peristiwa ini juga akan terjadi di tambang-tambang lainnya seperti batubara serta nikel,” paparnya. 

Sedangkan menyinggung Jenderal B yang muncul menurut  hanyalah sebuah pengalihan saja.

“Masalah sebenarnya adalah pergantian touke di mana pelaku sandiwara antara Kejaksaan Agung dan Mabes Polri siapa,” tambahnya.

 Irjen Pol (Purn) Ansyaad juga menyinggung saat pemanggilan Kapolri dan Kejaksaan Agung yang kemudian permasalahan ini terkunci dan disampaikan jika tidak ada masalah antara kedua institusi tersebut.

Masih dengan Irjen Pol (Purn) Ansyaad, meskipun pada jajaran atas tidak ada masalah, namun pada bagian level bawahan bisa dibilang ‘damage have been happen’.

Meskipun yang kerugian yang diungkap mencapai Rp300 triliun, namun kerusakan yang paling parah adalah Densus 88 dari kasus ini.

Sedangkan  terkait pengintaian yang dilakukan oleh salah satu anggota Densus 88, menurut Irjen Pol (Purn) Ansyaad, hanya korban, double korban.

“Dia tahu bahwa bukan perintah official, namun dia melihat bahwa yang memberi perintah lebih berkuasa,” tambahnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Laksamana Madya TNI Purnawirawan Soleman Ponto yang merupakan mantan Ka BAIS TNI atau Kepala Badan Intelijen Strategis TNI,  menurutnya ada dua pihak yang bisa memberikan perintah, di antaranya atasan langsung serta pihak lain.

“Selain itu yang bisa memerintahkan seseorang dan sering kali juga dilakukan oleh intelijen itu perintah dari yang mempunyai uang,” tambahnya.

Ponto menjelaskan bahwa hal ini terjadi di mana-mana karena memang operasi intelijen memerlukan biaya dalam sebuah operasi.

Dalam menggerakan atau memerintahkan intelijen dalam melakukan operasi memata-matai, menurut Ponto bisa langsung dilakukan ke oknum intelijen.

Dengan demikian aksi memata-matai tersebut juga bisa jadi tidak berdasarkan perintah dari atasan.