Sejumlah pakar menilai Presiden Prabowo berhasil menerapkan prinsip politik bebas aktif Indonesia secara efektif dalam menghadapi tatanan dunia baru yang tidak pasti. Penilaian ini mengemuka dalam diskusi "Deep Talk Indonesia" yang merefleksikan satu tahun Asta Cita Presiden Prabowo di bidang diplomasi dan pertahanan.
Diskusi bertajuk “Sketsa Diplomasi & Pertahanan Nasional Dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru” ini digelar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (29/10/2025). Acara ini diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) bekerja sama dengan UIN Jakarta dan Lembaga Kajian Strategis PB IKA PMII.
Penulis buku "Asta Cita Presiden Prabowo", Ngasiman Djoyonegoro (Simon), menyoroti langkah terukur Presiden Prabowo sejak terpilih. Ia mencontohkan kemampuan Presiden melakukan lawatan ke China dan Amerika Serikat dalam satu rangkaian, serta bergabung dengan BRICS+ sekaligus diterima oleh G7.
"Padahal kedua belah pihak tersebut sedang berseteru. Presiden berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif Indonesia,” kata Simon.
Pakar intelijen dan pertahanan nasional, Stepi Anriani, menilai ketidakpastian global saat ini justru memberikan momentum bagi implementasi politik bebas aktif.
“Presiden Prabowo sedang menunjukkan bagaimana politik bebas aktif dimainkan. Di satu sektor bisa tidak sepakat, tapi di sektor lain kerjasama dengan baik. Misalnya dengan China, Indonesia berseteru di Laut China Selatan, tetapi akur dalam kerjasama ekonomi,” kata Stepi.
Pandangan ini didukung pakar diplomasi dari President University, Abdul Wahid Maktub. Menurutnya, tatanan dunia lama sudah tidak relevan dan banyak negara, termasuk Israel dan Amerika, melakukan kesalahan kalkulasi geopolitik.
Tatanan dunia telah berubah, realitas telah berubah, tatanan dunia yang lama sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan,” ujar Abdul Wahid.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Hasanuddin Wahid, mengkritisi perlunya keseimbangan antara hard power, soft power, dan smart power. Menurutnya, Indonesia telah membangun hard power (alutsista) dan memiliki soft power (diplomasi Prabowo), namun smart power belum dikembangkan secara sistematis.
"Saat ini kita belum melakukannya (smart power) secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani,” kata Hasan.
Dari sisi militer, Staf Ahli KASAL Bidang Keamanan Laut, Dwi Sulaksono, menegaskan bahwa militer terus diperkuat untuk melindungi negara, termasuk melalui pembaruan persenjataan.
“Kalau kita mau membangun perdamaian, kita harus siap perang. Inilah yang sedang dipersiapkan,” kata Dwi Laksono.
Sekretaris Umum ISNU, Wardi Taufiq, menambahkan bahwa diskusi pakar ini penting digelar untuk melawan disinformasi di media sosial. “Di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini. Kita berkewajiban membangun kepakaran tersebut,” ujarnya.
Sumber: inilah