Penanganan kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) memasuki fase krusial.
Penyidik Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya akan segera menggelar perkara bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati DKI untuk menetapkan tersangka.
Ini sudah masuk dalam rencana kegiatan selanjutnya dan merupakan SOP dalam proses penyidikan. Ada komunikasi dengan jaksa, ada proses ekspos atau gelar perkara,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto, Sabtu (1/11/2025).
Sejauh ini, penyidik telah memeriksa 11 dari 12 terlapor. Satu terlapor berinisial ES belum diperiksa karena sakit.
“Yang bersangkutan sedang sakit keras dan sedang berobat ke luar negeri sesuai surat pemberitahuan,” jelas Budi.
Panggilan dua kali telah dikirim dan diterima oleh keluarga serta pengacara ES, namun belum direspons.
Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diserahkan ke Kejati DKI, tercantum 12 nama terlapor.
Di antaranya Eggi Sudjana, Rizal Fadillah, Kurnia Tri Royani, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias dokter Tifa.
Lalu , ada Abraham Samad, Mikhael Sinaga, Nurdian Susilo, serta Aldo Husein.
Duduk Perkara: Laporan Jokowi dan Lain Jadi Dasar Penyidikan
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kini ditangani oleh Polda Metro Jaya.
Penanganan ini merupakan tindak lanjut dari laporan polisi yang diajukan langsung oleh Presiden Jokowi pada 30 April 2025.
Selain itu, sejumlah laporan serupa juga masuk ke berbagai Polres dari pihak lain.
Laporan utama dari Jokowi dilayangkan ke Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.
Laporan tersebut mencakup dugaan pencemaran nama baik, fitnah, dan penyebaran informasi bohong.
Secara hukum, laporan ini mengacu pada Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, juga mencantumkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Pasal 27A, 32, 35, dan 51 ayat (1).
Video Tuduhan dan Narasi Palsu di Mesos
Laporan Presiden Jokowi mencakup unggahan video dan narasi di media sosial yang menyebut ijazahnya palsu.
Konten tersebut menuduh Jokowi tidak pernah kuliah di UGM, menggunakan dokumen tidak sah saat mencalonkan diri, dan menyebarkan informasi yang dianggap fitnah dan bohong.
Barang bukti berupa tangkapan layar, tautan video, dan salinan unggahan diserahkan ke penyidik sebagai dasar pelaporan.
Polda Metro Jaya kemudian menggabungkan dua objek perkara dalam proses penyidikan.
Pertama, dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan langsung oleh Presiden Jokowi. Dan kedua, dugaan penghasutan dan penyebaran berita bohong yang dilaporkan oleh pihak lain ke sejumlah Polres.
Kedua objek perkara tersebut telah naik ke tahap penyidikan dan menjadi dasar untuk pemanggilan para terlapor serta rencana gelar perkara.
Bukti dan Pemeriksaan: Ijazah Jokowi Sudah Diserahkan
Berkas ijazah Jokowi dari jenjang SD, SMP, SMA, hingga Universitas Gadjah Mada (UGM) telah diserahkan kepada penyidik.
Penyerahan dilakukan setelah pemeriksaan terhadap Jokowi di Polresta Solo pada 23 Juli 2025.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Ade Ary Syam Indradi menyebut bahwa penyidik telah memeriksa 117 saksi dan 25 ahli untuk mendalami kasus ini.
“Kami pastikan semua proses dilakukan hati-hati dan sesuai prosedur,” ujarnya.
Irisan Kasus: Laporan TPUA Mandek, Roy Suryo Desak Buka Lagi
Kasus pencemaran nama baik, fitnah, dan penyebaran informasi bohong yang kini ditangani oleh Polda Metro Jaya beririsan dengan perkara dugaan pemalsuan dokumen ijazah Jokowi yang sempat dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) pada Desember 2024.
Meski objek hukumnya berbeda, kedua kasus melibatkan isu yang sama dan aktor publik yang saling bersilang.
TPUA melaporkan dugaan pemalsuan ijazah ke Bareskrim, dengan pelapor utama Rizal Fadillah dan Eggi Sudjana.
Laporan tersebut mencakup dugaan pelanggaran sejumlah pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di antaranya adalah Pasal 263 tentang pemalsuan surat atau dokumen, Pasal 264 mengenai pemalsuan dokumen autentik, serta Pasal 266 yang mengatur pemberian keterangan palsu dalam akta otentik.
Selain itu, laporan juga mencantumkan Pasal 378 tentang penipuan, dan Pasal 55 serta Pasal 56 terkait penyertaan atau turut serta dalam tindak pidana.
TPUA mengklaim bahwa ijazah yang digunakan Jokowi saat mencalonkan diri sebagai wali kota dan presiden tidak sesuai dengan data akademik yang mereka telusuri.
Mereka juga menyoroti dugaan ketidaksesuaian format, tanda tangan, dan nomor seri dokumen.
Namun, setelah dilakukan gelar perkara internal, pada 22 Mei 2025, Bareskrim Polri menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana.
Keputusan itu disampaikan melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) yang ditandatangani oleh Brigjen Pol Sumarto.
Tidak lama penyelidikan kasus itu dihentikan, Roy Suryo, salah satu terlapor dalam kasus di Polda Metro Jaya, secara terbuka meminta agar Bareskrim membuka kembali penyelidikan.
Ia mengklaim telah menerima salinan dokumen dari KPU DKI Jakarta dan KPU Pusat yang menunjukkan ketidaksesuaian data.
“Saya tidak asal bicara. Ini berdasarkan dokumen resmi yang saya terima langsung dari KPU,” ujarnya.
Roy menyebut bahwa ijazah Jokowi “99,9 persen palsu” berdasarkan analisisnya. Ia juga berencana meminta salinan tambahan dari KPU Solo untuk membandingkan data lintas tahapan pencalonan Jokowi.
“Kalau memang tidak ada masalah, buka saja kembali penyelidikannya agar terang-benderang,” tegasnya.
Klaim Roy dan langkah-langkahnya mengumpulkan dokumen lintas lembaga menambah dimensi baru dalam polemik ini.
Meski belum ada verifikasi resmi atas kesimpulan yang ia sampaikan, pernyataan tersebut telah memicu kembali perdebatan publik soal transparansi dan akurasi data kepemiluan.
Publik Menanti Kepastian Hukum
Meski belum ada nama yang resmi ditetapkan sebagai tersangka, gelar perkara yang akan digelar dalam waktu dekat menjadi penentu arah hukum kasus ini.
Di tengah sorotan terhadap integritas informasi publik, masyarakat berharap proses ini tidak hanya menghasilkan kepastian hukum, tetapi juga memperkuat kepercayaan terhadap institusi penegak hukum
Sumber: tribunnews