Kasus skandal solar murah yang dinikmati korporasi besar milik pengusaha kakap Boy Thohir, Franky Widjaja hingga BBM yang diduga merugikan negara hingga Rp2,5 triliun, membuktikan perlunya penegakan hukum terhadap sektor BBM. Kalau tidak, kasus ini akan terus terulang karena tak ada efek jera.
Ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH) mengaku heran dengan fenomena orang kaya malah dimanjakan dengan subsidi dan insentif. Termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang seharusnya menjadi hal rakyat miskin, malah bocor ke kelompok kaya.
Berdasarkan temuan lembaga riset Next Center yang memanfaatkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) per Maret 2024, menunjukkan, sebanyak 40 persen rumah tangga termiskin (desil 1 sampai 4), seharusnya menjadi target subsidi energi.
Tapi sayang, praktiknya tidak begitu. Porsi subsidi terbesar justru mengalir ke keluarga menengah dan kaya raya (desil 5-10).
"Rakyat kecil yang tiap bulan mengatur uang belanja pas-pasan, malah mensubsidi mereka yang mobilnya berderet di garasi, atau rumahnya berharga miliaran rupiah. Ini kan enggak adil," ungkapnya di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Selanjutnya, Achmad Nur membuka APBN 2025 yang mengalokasikan subsidi energi yang jumlahnya nyaris Rp400 triliun. Untuk subsidi BBM sebesar Rp26,7 triliun, LPG sebesar Rp87 triliun, listrik sebesar Rp89,7 triliun. Ditambah dana kompensasi energi hampir Rp191 triliun.
"Jika subsidi sebesar itu benar-benar melindungi yang miskin dan rentan, kita bisa bilang, itu harga yang layak untuk keadilan sosial. Masalahnya, data menunjukkan cerita yang berbeda," imbuhnya.
Jadi memang betul, kebocoran subsidi energi khususnya BBM bukanlah cerita karangan. Bahkan ada korporasi besar nekat 'berkolaborasi' dengan oknum Pertamina demi mendapatkan solar dengan harga super murah. Bahkan melanggar aturan karena di bawah harga pokok penjualan (HPP) Pertamina.
Dalam sidang mantan Dirut Pertamina Patra Niaga (PPN), Riva Siahaan yang berstatus terdakwa dugaan tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/10/2025), terungkap fakta hukum yang mengejutkan.
Pihak jaksa penuntut umum, menyebutkan adanya belasan perusahaan yang diduga meraup untung jumbo dari membeli solar super murah. Tidak mematuhi pedoman tata niaga sebagaimana diatur Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9. Alhasil, negara berpotensi merugi hingga Rp2,5 triliun.
Perusahaan 'Penjarah' Solar Murah
Siapa saja prusahaan yang tersangkut? Sejumlah perusahaan besar yang tentu saja dimiliki pengusaha papan atas, terseret. Sebut saja, PT Adaro Indonesia yang diketahui milik pengusaha Garibaldi 'Boy' Thohir, kakak kandung Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Erick Thohir, diduga menikmati cuan Rp168,51 miliar. Dn satu lagi, PT Maritim Barito Perkasa yang terafiliasi Adaro Logistics atau Adaro Group, diduga kecipratan cuan Rp66,48 miliar.
Pun demikian dengan PT Beraul Coal yang bernaung di bawah Sinarmas Group milik Franky Widjaja diduga menikmati keuntungan Rp449,1 miliar dari pembelian solar super murah.
Dua lagi perusahaan yang tergabung dalam Sinar Mas Group, yakni PT Purnusa Eka Persada dan PT Arara Abadi, menikmati untung Rp32,11 miliar. Sehingga totalnya menjadi Rp481,1 miliar diduga masuk ke kantong Sinarmas Group.
Perusahaan lainnya adalah PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) yang tergabung dalam Delta Dunia Group (DOID) memperoleh Rp264,14 miliar, PT Merah Putih Petroleum milik PT Energi Asia Nusantara dan Andita Naisjah Hanafiah meraup Rp256,23 miliar.
Diikuti PT Ganda Alam Makmur dari Titan Group yang berkongsi bisnis dengan LX International asal Korea, diduga untung Rp127,99 miliar; PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM) melalui lima anak usahanya yang berafiliasi Banpu Group asal Thailand, diduga terima Rp85,80 miliar.
Selanjutnya, PT Vale Indonesia Tbk miliki Vale SA asal Brasil, diduga menikmati untung Rp62,14 miliar. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, sebuah industri semen besar yang dulunya masuk Salim Group, kini masuk bagian Heidelberg Materials AG asal Jerman, diduga 'menelan' cuan hingga Rp42,51 miliar.
Ada pula perusahaan pelat merah yang kebagian can dari skandalsolar murah ini, yakni, PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, di bawah MIND ID, diduga mereguk cuan Rp16,79 miliar. Sementara PT Nusa Halmahera Minerals (PTNHM), kongsi bisnis PT Indotan Halmahera Bangkit dengan Antam, diduga meraih keuntungan Rp14,06 miliar.
Masalahnya, dua bulan berselang, tak ada perkembangan berarti dari fakta hukum yang disampaikan JPU itu. Penyidik Kejagung tak kunjung memeriksa pihak-pihak yang namanya disebut-sebut.
Uji Nyali Kejagung
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai, Kejagung seharusnya sudah menetapkan tersangka dari korporasi yang menikmati keuntungan dari skandal solar murah itu. Pihak Kejagung bisa memberikan sanksi pidana tambahan, berupa pencabutan izin usaha hingga pembubaran korporasi.
Kata Boyamin, Kejagung selama ini, hanya berani membubarkan lembaga kecil seperti yayasan, melalui putusan pengadilan dalam perkara lain. Namun, tak bernyali ketika berhadapan dengan perusahaan besar yang terlibat perkara besar seperti skandal solar murah.
“Karena beberapa yayasan yang melakukan pelanggaran itu juga dibubarkan oleh kejaksaan. Maka perusahaan juga harus dicabut izin dan dibubarkan,” kata Boyamin saat dihubungi Inilah.com, Rabu (12/11/2025).
Ia menilai, sanksi pidana pokok berupa denda tidak cukup memberikan efek jera kepada korporasi maupun pihak lain yang berpotensi melakukan pelanggaran serupa demi meraup keuntungan.
“Bukan hanya sekadar dihukum denda dan sebagainya. Terlalu enak nanti banyak yang melakukan itu. Jadi, itulah menurut saya harus segera diproses hukum untuk menjadika